Pelintas Waktu



Kadang aku bertanya, kenapa bisa terjadi ? maksudku hal yang bisa membuat hatimu berdegup kencang, bukan ketakutan, hal yang lainnya, cinta maksudku, kenapa bisa terjadi ? benarkah wanita & pria selalu diciptakan bersama, ya memang, tapi bagaimana dengan Gay dan Lesbian ? bagaimana reaksi kedua kubu tersebut mengalami proses antar ketertarikan walaupun sesama jenis ? kadang aku menemukan diriku sedang tersandung dalam kegelapan berpikir seperti para ahli, mengartikan sesuatu yang fana, bedanya para ahli berhasil dan aku tidak, diriku yang menyedihkan ini selalu termenung oleh hal-hal tidak jelas. sangat berbeda dengan tiga tahun yang lalu. saat tubuhku masih pendek dibalut oleh pakaian putih-biru, celana pendek, baju tidak tertata rapi, rambut panjang. Aku orang yang sangat ceria, hanya melihat dunia dari sebelah sisi.

Ada gadis bernama Gita, dia gadis pindahan Bandung yang terkenal dengan aksen Sunda, gadis ini berfikir bahwa aku menyukainya, padahal tidak, dia hanya mengingatkan ku oleh seorang gadis lain bernama Asha, paras mereka benar benar mirip dari penglihatan ku, sifatnya, gerak gerik tubuhnya bahkan cara dia bertutur kata, aku sangat terkejut waktu pertama kali melihat Gita dan pertama kali dia masuk ke ruang kelas aku hampir meneriakkan nama Asha, sungguh sulit dipercaya aku mengira dia Asha, aku dan Asha sudah hampir delapan tahun tidak bertemu, hanya saja aku masih tetap mengingatnya, kami sering bermain saat kecil, karena kami bertetangga aku, Asha dan Iliya. Kami bagaikan sebuah tim Beetleborg serial anak-anak yang sangat terkenal pada akhir era tahun sembilan puluh. Pada saat kami beranjak ke sekolah dasar kami bertiga pergi ke sekolah yang berbeda. Tetapi bukan berarti kami jarang bertemu. Kami tetap sering bermain bersama, setiap hari, tanpa terkecuali. Tetapi saat itu aku sangat membenci suatu hal yaitu “Perpisahan”. Asha harus pindah karena ayahnya yang harus bertugas di luar kota, aku dan Iliya sangat terpukul saat itu, sehari sesaat sebelum dia pindah, kami bermain seperti biasa, hanya saja tidak ada canda tawa yang menghiasi permainan kami. Setengah jam setelah kami bermain kami hanya duduk di batang pohon yang sudah ditebang dan agak layu. Tetapi saat itu dia berkata

“Ini hari terakhir aku berada di kota ini, aku tidak akan kembali ke kota ini.”

“Ya... ini hari terakhir kita bermain” ujar Iliya

“Aku benci hal ini” itu kata yang sengaja menerjang keluar dari bibirku.

Kami semua terdiam tersedu, mengingat semua hal yang sudah terjadi pada kami. Setiap hari kami selalu bermain, apapun permainan itu kami selalu merasa gembira tetapi ada satu hal yang selalu kusuka dalam permainan kami yaitu menjelajah, di dekat rumah-rumah warga dijalan gang kami terdapat hutan kecil, kami selalu memasuki hutan itu dan bukan hal yang aneh kalau kami tidak tersesat. Serangga-serangga kecil yang menempel di batang kayu pohon yang masih berembun, cuaca terik yang ditutupi oleh ratusan dedaunan yang masih menggelantung di pohon. Dan aku tahu kami takkan pernah melakukan hal ini lagi.

Sebuah percikan dari kedua kelopak mataku menghasilkan setetes air asin yang makin lama mengalir makin deras. Dan saat itu juga Asha mengusap air mataku dengan kedua tangannya yang halus dan lembut.

“Aku juga benci perpisahan tapi itu bukan berarti akhir dari segalanya bukan ?”

Saat kepalaku tertunduk dan menghayati ratapanku dia menaikkan kepalaku, memegang dahuku dengan jarinya yang mungil menggerakkan ke atas. Die menengok ke arah Iliya.

“Dan Iliya , ini juga bukan permainan terakhir kita, mungkin juga ada suatu masa saat kita bertemu dan bermain bersama lagi.”

Dia melepaskan tangannya dari daguku dan berjalan mundur tiga langkah, membuka tangannya lebar-lebar.

“Sini biar kupeluk kalian.”

Kami berlari kearahnya dan kami berpelukan sangat erat. Pertemanan yang paling tulus yang paling aku ingat sampai sekarang, tiada kemunafikan diantara kami.

“Lebih baik perpisahan daripada tidak sempat mengatakan sampai jumpa bukan ?”

Saat itu aku berpikir, kenapa bisa ada anak umur enam tahun berbicara seperti itu? Maksudku itu sebuah kombinasi kata-kata sempurna. Setelah itu tiada kalimat lagi, kami langsung pulang kerumah masing-masing karena hari esok, aku dan Iliya sekolah. Pada malam hari tiada kegiatan yang dapat dilakukan, menonton televisi pun pada waktu itu aku masih belum mengerti, hanya tempat tidur yang sangat empuk pilihan terakhir kegiatan malamku.

Tahun-tahun pun berlalu. Dan aku masih saja tidak mempunyai kesempatan untuk satu sekolah dengan Iliya, saat beranjak ke bangku Sekolah menengah pertama aku duduk di Bangku Kayu yang keras dan juga suasana lebih menyenangkan, aku mempunyai sahabat baru di kelasku yaitu, Gamaliel. Dia adalah sepupuku, dan juga sahabatku saat kecil, sama seperti Asha dan Ilya, biasanya aku dan Gamaliel bertemu apabila orang tua kami mempunyai waktu liburan, mereka akan membawa kami berjalan-jalan ke kota lain, pantai, dan sumber wisata lainnya. Akupun menjadi tambah akrab dengan Gamaliel sejak saat itu, kami selalu membahas apapun, apapun itu. Karena pada dasarnya kesukaan dan ketidaksukaan kami sama, dan juga kelas VII B mempunyai fraksi-fraksi, dan kami masuk kedalam salah satu non-fraksi, karena kami akan membahas hal apapun, berbeda dengan fraksi lainnya, mereka membahas semacam Drama Korea, Cinta, Pertempuran dan sebagainya. Tiada hal yang kusesali saat aku masuk ke dalam kelas VII B walaupun kami mempunyai fraksi-fraksi, tetapi kami tetap satu kesatuan, kami selalu bersama dalam suka dan duka sungguh suatu hal yang saat ini kurindukan. Lalu akupun beranjak ke kelas VIII B kami mempunyai masalah baru yang sangat menegangkan, saat itu adalah tahun dimana semua kelas mendeklarasi perang besar-besaran, walaupun sekolah kami adalah sekolah favorit, tetap saja selalu ada berandalan di sekolah tersebut, dan untungnya di kelas kami terdapat Vino. Vino dikenal sebagai berandalan terhebat di kota kami, jadi walaupun kelas lain sedang bertempur, kelas kami tidak akan berani disentuh oleh mereka, dan kelas kami pun tidak pernah menyerang kelas lain. Vino sangat baik terhadap kami, tetapi tidak untuk kelas lain, seperti salah satu contohnya, Dandy, Dandy adalah seorang kurir dikelas kami, dia pengantar makanan dan minuman oleh fraksi Cinta di kelas kami, suatu saat Dandy kembali ke kelas kami dan kakinya terluka. Aku bisa melihat dari matanya, dia merasakan kesakitan yang luar biasa, kakinya bewarna biru gelap bagaikan warna spidol papan tulis yang sering kami gunakan, terdapat luka lebam di mukanya, dan dia berusaha menyembunyikan tangisannya, Vino langsung menghampiri Dandy menanyakan apa yang terjadi, tetapi Dandy seolah diancam oleh sesuatu dan tidak berani berbicara.

“Berbicaralah, luka ini bukan didapat saat jatuh ataupun terbentur, katakan siapa yang memukulmu.”

Vino saat marah itu dan dia tidak bisa menahan amarahnya, dia mempunyai jiwa kebajikan yang sangat luar biasa, hanya saja dia berandalan, seketika bibir Dandy mengucapkan nama ‘Tristan’. Vino langsung keluar kelas dan semua laki-laki di kelas kami mengikutinya, untuk pertama kalinya kelas kami menyerang kelas lain, lalu terlihat Tristan sedang berjalan menyusuri lorong kelas-kelas, Tristan adalah pemimpin geng di kelas VII C. Seketika Vino langsung berlari dan menendang Tristan hingga terkapar, tanpa menjelaskan kata-kata. Tristan lalu berdiri dan memukul Vino, terjadi baku pukul diantara mereka, dan sebagian guru-gurupun tidak berani menghentikan mereka, menurutku itu adalah perkelahian terhebat yang terjadi di mataku. Tristan dipukul hingga mimisan dan Vino tidak mempunyai luka sedikitpun, sungguh merupakan sebuah perbedaan besar diantara mereka, dan dari kejauhan seorang guru mendatangi mereka, dan menampar mereka berdua, guru itu adalah seorang guru matematika dan aku yakin dia juga mantan berandalan pada saat dia sekolah dulu, dia bisa menghentikan perkelahian dengan seketika, Vino dan Tristan kemudian dibawa keruangan kepala sekolah. Dan Vino mendapat hukuman untuk membersihkan halaman sekolah selama satu minggu dan Tristan diskor selama satu minggu karena ulahnya memukul si Dandy. Aku kira itu adalah perkelahian terakhir yang terjadi di kelas VII B ternyata tidak, saat kami beranjak ke kelas VIII B kelas kami berada di bangungan atas, bersama dengan VIII A. Dan tiga hari setelah saat ujian akhir semester genap selesai, aku melihat dari atas bahwa kelas C, D dan E berombong-rombong mendatangi kelas kami, dan aku bisa melihat dari ekspresi mereka bahwa mereka datang bukan untuk beramah-tamah tetapi untuk menghabisi Vino dan kami, kamipun cepat-cepat berlarian ke kelas untuk mengambil bangku dari kayu membuat barikade di anak tangga untuk menghalangi jalan masuk mereka. Itu akan membutuhkan waktu untuk mengancurkan barikade kami. Lalu kamipun bersiap-siap untuk melancarkan serangan apabila mereka sudah menerobos barikade kami. Vino pun juga bersiap-siap. Saat mereka menerobos kami pun berusaha mendorong mereka untuk menjauh dengan menggunakan bangku. Sungguh tidak seimbang kelas kami melawan tiga kelas, sepuluh menit kami berkelahi dan akupun mulai kesakitan dan tidak kuat lagi melanjutkannya, begitu juga dengan Vino aku bisa melihat wajah dia mulai kecapaian, Gamaliel masih bersikeras untuk melawan mereka, dan saat itu keajaiban pun terjadi, VIII A membantu kami, walaupun mereka adalah sekumpulan kutu-buku mereka sangat membantu, dan tawuran kami diakhiri saat kepala sekolah berbicara menggunakan microphone melalui ruang kerjanya dan berkata dia akan menskors kami semua apabila tidak menghentikan semuanya. Seketika kami menghentikan semua tawuran kami dan itu untuk terakhir kalinya.

Tiada perkelahian lagi saat kami beranjak ke kelas IX B karena semua sudah fokus untuk ujian penyetaraan nasional, tiba-tiba saja saat aku melamun di pelajaran IPS aku mengingat sebuah nama, yaitu Asha, entah kenapa aku mengingat namanya di dalam kepalaku, pikiranku memikirkan tanpa permisi. aku pun menjadi penasaran apakah masih ada kesempatan untuk bertemu orang ini lagi? Yang aku tahu tempat mencari orang-orang hilang yang paling tepat adalah jejaring sosial, tempat dimana aku bisa menemukan orang-orang yang tidak bisa kutemukan, karena itu aku mencari Asha, tapi lucunya aku tidak tahu nama depan dia dan juga Asha hanya panggilan kecil dia, tamatlah sudah teman masa kecilku ini. Karena itu aku masih berfikir bahwa Gita itu adalah Asha, aku meminta nomor selulernya, bertanya tentang keluarganya, alamat rumah, sekolah sebelumnya, kehidupan dia saat di kota sebelumnya dan aku baru menyadari sekarang bahwa saat itu aku seorang penguntit, sungguh bodoh. Satu hal yang paling kusenangi dari gadis ini adalah dia selalu menerima orang yang mendekatinya dan bahkan tidak menjauhinya, dia pernah berkata;

“Kenapa sih kamu nanya-nanyain tentang kehidupan aku, kamu suka ya sama aku? Maaf ya tapi aku udah punya pacar.”

Dengan pandangan mengoda dan parasnya yang mendukung aku menjadi sedikit gugup dan terkejut mendengar hal itu

“Kamu tau gak? Kamu kayak adik aku, nggemesin gimana gitu, aku panggil bebek aja yah kamu?”

“hahaha iya...”

Apa maksudnya ini! Apakah dia berpikir bahwa dia menyukaiku? Oh, tidak, dia telah salah sangka dengan semua perkara ini.

Tidak ada pilihan lain hanya jawaban positif lah yang bisa kukatakan, tetapi ada sesuatu yang tidak pernah kuduga yang keluar dari mulutnya.

“tapi kalau kamu memang bersikeras dapatkan aku, kejar aku, tunggu aku di bandung nanti.”

Aku berfikir, perempuan ini membuka jalan lebar untukku, aku kagum dengannya, bukan karena aku menyukainya tetapi dia selalu mengenal orang itu terlebih dahulu tanpa menolaknya, dan inilah yang harus aku tiru darinya, kebanyakan aku melihat seseorang perempuan akan menjauhi lelaki yang tidak disukainya tetapi berbeda dengannya dia sungguh baik padaku.

Aku melanjutkan ke sekolah menengah atas yang sangat populer di daerahku Pendapat mayoritas berkata masa-masa sekolah yang paling menyenangkan adalah SMA, menurutku persetan dengan hal itu, yang ada hanya intimidasi, diskriminasi dan pembunuhan karakter yang dapat aku petik di sekolah. Dan hei, karakterku sangat berubah saat aku masuk kelas satu SMA kenapa ?

Terutama hari senin. Upacara bendera adalah kegiatan yangg paling sedikit peminatnya. Hanya Setengah yang tulus menjalaninya aku berani bertaruh nyawa untuk hal ini. Apalagi kalau pembina upacara memberi pidato panjang lebar kali tinggi. Kalaupun berangkat pagi-pagi, tidak lain karena malamnya tidak mengerjakan PR, dan pada saat pagi berkelana mencari contekan di berbagai buku teman. Merasa bahagia tiada tara kalau ada pelajaran kosong. Seisi kelas bakal memanfaatkannya untuk berbincang-bincang segala hal-hal, dari yang tidak penting sampai yang paling tidak penting penting! Tertawa, berkicau ria, dandan, mengutak-atik telepon seluler, baca buku tapi bukan buku-buku pelajaran sekolah. Pokoknya perasan campur aduk. Hati menjadi geram saat santai tiba-tiba bel tanda masuk berbunyi. Jam istirahat terasa singkat, tapi jam belajar bagaikan seabad. Dan apa lagi gurunya yang datangnya tepat waktu, tolonglah kami, kami anak remaja. guru killer, memang menyayat hati, Bawaannya pengen ngajak adu jotos aja, tapi yah cuma berani dalam hati aja! Kalau ada guru telat masuk santai aja tidak ada masalah. Tapi kalau telat keluar padahal jam pelajaran udah selesai, ini jelas jadi masalah. Aksi protes bakal menggema sampai ke sudut-sudut paling terpencil kelas. Aku tidak menjalankan hari-hari di SMA ku dengan baik, bahkan makin memburuk, tiada hari tanpa kusesali kenapa aku memilih sekolah ini.

Dari hati gelapku meneriakkan hal kecil bahwa aku lebih senang dengan masa putih biru karena tidak adanya rasis kelas dan ternyata Pendapatku salah, saat kenaikan aku melanjutkan ke program studi bahasa, memang terasa pahit melihat hasil angket yang tidak selaras dengan niat awalku, tapi tak apalah sebenarnya aku juga ingin meneruskan ke program bahasa. Setengah dari murid bahasa sudah aku kenal karena mereka rata-rata adalah temanku saat kelas satu SMA ya jadi ini kesempatanku untuk berkenalan dengan sisanya. Kelasku hanya berisi duapuluh siswa tidak kurang dan agak lebih. Tidak ada yang spesial dari kelasku hanya sebatas teman bicara saja, berbeda dengan smp, dimana ada wilayah yang terbagi bagi untuk setiap siswanya, mulai dari Nerd, Geek, K-Pop, Masculin, Feminim, dan Normal. Khusus untuk kelasku semua daftar itu terhapus karena ketidakjelasan murid-muridnya. Saat itu juga aku berdoa semoga aku cepat keluar dari sekolah ini.

Akupun menahannya selama dua tahun berturut-turut dan aku sanggup hingga sudah tidak terasa aku sudah menduduki kelas XII dan sebentar lagi akan meneruskan ke bangku kuliah, tidak ada yang spesial kecuali hari Ujian dimana 12 tahun semua murid sekolah menempuh ujian hanya tiga hari ujian mereka akan bertempur habis-habisan. delapan Bulan sebelum kami menempuh ujian, ada suatu berkah yang telah didatangkan oleh kelas kami, yaitu anak pindahan kabarnya dia berasal dari sekolah Bilingual International, kabar ini sudah menjamur sebelum anak pindahan itu datang dan lucunya guru-guru tidak memberitahu dengan jelas spesifikasi anak ini, gender pun tidak disebutkan itu yang membuat kami penasaran.

“Aku berharap semoga dia perempuan.” aku berteriak

“Bukan kamu aja yang berharap disini Asa.” seru Riki

“Tapi kalaupun dia perempuan, dia jelek bagaimana?” tanya Gio

“Asalkan perempuan, aku sudah bosan melihat wajah-wajah kalian saja.”

“Bukan kamu aja yang bosan Asa, aku aja mau muntah melihat wajah kamu, tapi bisa bisa kalau cowok yang datang dihembat Gio tuh.”

“ehh! Kamu ngatain aku Gay!?”

Kriing

Bel kelas berbunyi, kami masuk ke kelas menunggu anak pindahan baru itu. Guru belum datang karena itu kami masih sempat berbincang-bincang, suara gema kami terdengar sampai kelas sebelah, walaupun kami hanya duapuluh suara kelas kami dapat menyetarai kelas lain yang siswanya hingga tigapuluh, guru kelas lain pun mendatangi kami dan meneriaki kami agar jangan ribut. Itu sudah menjadi hal yang biasa bagi kami selalu ditegur karena kami selalu ribut. Tiga puluh menit sudah waktu berlalu gurupun tak kunjung datang, kami memulai kegaduhan kami mulai dari, menonton film di laptop, mengobrol, bersahut-sahutan, dan hal yang tidak penting lainnya.

Tik tok

Suara Langkah kaki menuju ke ruangan kami, terdengar jelas itu adalah suara hentakan sepatu hak tinggi untuk perempuan. Wali kelas kami ibu Ivy pun mendatangi kelas kami diikuti dengan seorang gadis cantik orisinil indonesia yang sudah pasti dia adalah anak pindahan dari sekolah Bilingual International itu. Memakai sepatu pantofel hitam, Berpakain rok hitam pendek di bawah lutut, berblazer hitam masih lengkap dengan lambang sekolahnya, kemeja putih dengan dasi hitam, rambut panjang berwarna hitam agak bergelombang, kulit putih, tinggi rata-rata perempuan indonesia, bibir merah, hidung mancung. Apabila gadis ini diberi nilai antara satu sampai sepuluh aku akan memberikannya sembilan.

“Anak-anakku tercinta kita kedatangan teman baru yang akan menghiasi kicauan kelas kalian.”

“itu kan Majas bu!” seru kami.

“eh muridku yang baru, cantik, pintar dan berkharismatik maukah kamu mempernalkan diri kamu di depan kelas?” tanya ibu Ivy dengan intonasi khasnya.

“ya, perkenalkan nama saya Tatjana Marshanda”

“ehem nomor seluler!” seru Riki

“Whuoooooooooooooo!!” semua siswa-siswi kelas bahasa mensoraki dia karena cara dia menggoda anak baru, ini sungguh menggelikan.

“hmm, boleh saya lanjutkan?”

“Silahkan”

“Saya tinggal di Bandung, ada pertanyaan?”

“Hah? Itu yang namanya perkenalan?” aku berbicara dengan lantang walaupun itu sebuah pertanyaan.

“yah, terlihat sepertinya kamu penasaran denganku?!”

“wah percaya diri sekali kamu, lagian siapa juga yang mau cari info tentang kamu!”

“Cieeeeeeeeeeeeeeeee.” seperti biasa .

“Nah, nah sudah emm Yana kamu duduk sebelah Asa aja ya.” ibu Ivy mencoba meleraikan perdebatan kami.

“GAK MAU!” kami berdua berteriak dengan harmonis yang luar biasa, setidaknya itu adalah satu-satuny hal dimana kami bisa saling setuju.

“kalian gak sayang ya sama ibu?”

“huh!”

Mendengar kata-kata ibu Ivy Yana langsung duduk, walaupun bersebelah kami tetap saja merasa ada kaca pembatas diantara kami, aku merasa menjadi tidak peduli dengan keberadaannya, padahal tigapuluh menit yang lalu aku berharap-harap tentang dia, tapi sekarang yang terjadi adalah pertengkaran, ya sudahlah tak apa, lagi pula aku juga hanya delapan bulan lagi melihat wajahnya dan akan berpisah.

Sudah tiga minggu dan kami tidak kunjung bicara, Yana sudah bisa beradaptasi dengan Reina, Yuna, Lizha, dan lainya. Aku mendengar kabar bahwa Yana adalah anak orang kaya yang sangat kaya, ayahnya adalah seorang Diplomat, ibunya pengusaha Restoran, hanya saja dia berlagak seperti orang biasa, tidak ada memamerkan sisi kayanya sedikitpun, dia terlihat seperti gadis pada umumnya, hanya saja dia itu spesial, agak berbeda dengan yang lain, aku tidak bisa mengekspresikannya dengan kata-kata,,,

Hei! Kenapa aku malah kepikiran !?” tanpa sadar aku telah berteriak, untung saja itu adalah waktu istirahat, para wanita ini pun memerhatikan aku sejenak, dan Yana pun langsung memberikan tatapan penuh godaannya.

“ahhhh,, memikirkan aku ya?”

“enak aja siapa yang mikirkan kamu!”

Kriingnging

Bel tanda masuk kelas berbunyi semua lekas duduk dan untuk pertama kalinya Yana mengajakku bicara.

“hei,, kamu masih kesal sama aku?”

“ga,, gak kok.”

“jujur lho aku paling gak tahan diem-dieman kayak anak kecil aja, aku aja ya yang bilang maaf deluan”

“...”

“kamu mau maafin aku ga?”

“Iya.”

“oh ia, hei hobby kamu apa? Aku tidak menanyakannya pada orang lain lho khusus kamu aja.”

Dia memulai sebuah percakapan ringan untuk membuat ikatan batin dengannku, apabila aku menolaknya pasti akan terjadi pertengkaran lagi karena itu aku menjawabnya.
“aku ingin jadi Penulis.”

“wah, cita-cita yang indah.”

Lalu dia berhenti berbicara, dia perempuan yang hebat, dia sudah tahu pola pikir manusia, dia pasti berpikir aku akan bertanya balik hobinya dan aku juga sudah tahu bahwa hal itu akan terjadi karena itu aku juga diam.

“kamu ga nanya hobi aku apa?” dia bertanya balik

Dia memberikan sebuah tatapan penuh godaan dengan senyuman dia yang menawaan, aku berfikir apakah dia sengaja melakukan ini, seharusnya dia juga diam dan kami akan bertarung batin apakah aku akan menanyakan hobi dia atau tidak tetapi dia langsung mengalah, aku tidak mengerti gadis ini.

“baiklah hobi kamu apa?”

“aku ingin jadi Aktris.”

Dia cantik, putih, manis, mempunyai kharisma, lumayan tinggi untuk gadis seusianya sekitar 158-160 dan aku berfikir itu pasti sangat mungkin untuknya, terlebih lagi dia selalu tampil modis.

“kalau begitu semoga berhasil ya.”

“ya kamu juga.”

sejak saat itu kami mulai mengenal satu-sama lain dan sudah tidak pernah bertengkar lagi, sungguh luar biasa seorang gadis meminta maaf padaku, aku malah berfikir aku pengecut hanya karena sebuah kalimat kecil aku bertengkar dengan gadis ini.

“gak, seharusnya aku yang minta maaf”

“ah sudahlah, kamu merayuku ya?”

Dia selalu memberikan tatapan godaan itu, aku mulai suka dengan tatapan dia ini, dia sangat hebat dalam meluluhkan hati pria disekitarnya, ini adalah tekhnik yang jitu untuk membuat orang luluh padanya. Dan hebatnya sihirnya dia ini mulai berpengaruh kepadaku. Baru dua bulan dia bersekolah di sini, tetapi rasanya sudah satu tahun bersamanya, entah kenapa kekerabatan aku dan dia mulai terjalin dengan baik salah satunya juga karena faktor aku duduk disampingnya dan rasanya aku mulai suka dengan orang ini. Dia selalu menceritakan dirinya saat berada di sekolah sebelumnya tentang kehidupannya pada waktu itu, hanya saja dia tidak pernah menyebutkan nama-nama temanya pada saat menceritakannya entah kenapa tidak ada satupun nama yang disebutkannya tetapi, walaupun begitu aku sangat senang mendengarkan gurauannya, aku rela tidak mendengarkan kata-kata guru hanya untuk mendengarnya bercengkrama aku rela dia memarahiku karena pada saat dia marah aku senang bisa melihat parasnya dia yang menawan dan dia selalu bingung saat dia marah kepadaku karena aku selalu memberikan sebuah senyuman untuknya, ah aku suka dia. Aku tenggelam oleh kesenangan, aku takut apabila terlalu dekat dengannya dia bisa mendengar detak jantungku yang begitu kuat karena dia. ketika jatuh cinta, akan ada satu nama yang mengencangkan debar jantungmu. Saat terluka, nama itu meloncat ke paru-paru, mencekik, menyesakkan seluruh hela napas di dadamu.

“Hei Yana.”

“Yep.”

“apakah kamu menjalin hubungan dengan seseorang?”

“kenapa tiba-tiba kamu bertanya begitu? Ah! Kamu suka sama aku?”

Lagi-lagi dia memberi tatapan itu, sungguh aku tak tahan melihatnya, dia terlalu cantik aku tak bisa bertutur kata hanya karena tatapan itu.

“Sebenarnya ada, dia bisa dibilang hubungan kami spesial tetapi kami tidak berpacaran, dia sedang ada di Bandung, dia sedang menungguku, dan aku menunggunya”

“!?”

Hujanpun turun, hatiku terkoyak mendengar sebuah kalimat yang terucap dari mulutnya yang merah itu, rasanya pupus sudah harapanku untuk melihatnya, aku menjadi murung saat mendengar kalimat itu aku langsung memberhentikan percakapan itu secepat kilat, ku tolehkan kepalaku ke papan tulis agar dia tidak melihat betapa kecewanya diriku, memang aku bukan siapa-siapanya, aku juga baru mengenalnya selama dua bulan, kehidupannya dia yang sebelumnya juga tidak kuketahui bahkan aku bisa dibilang kuno dimatanya karena perbedaan status sosial, sudahlah. Hujan tak juga reda, seseorang yang biasa kusebut 'aku' saat berbicara denganmu, sedang melamun di balik jendela, berharap kau menyapa, sebelum rindunya kadaluarsa. Aku melihat kebahagiaanmu seperti melihat pelangi. Cahaya yang berada diatas kepala orang lain. Dan aku pun terusir menjadi bayanganmu. Dalam hati aku berteriak “aku harus melupakannya!” aku benci tatapan dia, aku benci karena dia selalu harum, aku benci rambutnya yang terurai menutupi parasnya yang menawan, aku benci senyuman dia, aku benci dia. Itu adalah sebuah kata-kata motivasi untuk melupakannya. Maksud hati memeluk gunung apa daya tangan tak sampai. Aku telah jatuh kedalam perangkapnya, setiap malam aku hanya memikirkannya, disaat pelajaran hanya dia yang kupikirkan, bahkan terkadang aku mulai berusaha mengabaikan dia dengan cara tidak mendengarkan dia.

Sudah tiga bulan dia belajar di sekolah ini dan tetap aku tak bisa melupakannya, makin aku melupakannya makin aku menyukainya, dan aneh rasanya teman sebangku tidak mengobrol sedikitpun dan aku mulai mengoreksi diri sekali lagi, aku mulai berbicara dengannya lagi karena pada saat suatu malam aku meminta saran dari Iliya teman masa kecilku, aku tidak pernah hilang kontak dengan dia walaupun sudah duabelas tahun berteman, walaupun aku juga tidak pernah satu sekolah denganya aku selalu bertemu dan bertukar cerita dengannya, dia adalah teman terlama yang aku ingat sampai sekarang, saat aku menceritakan seorang gadis dengannya dia tertawa terbahak-bahak karena baru pertama kali dia mendengar aku jatuh cinta, sebenarnya sih tidak, ada gadis lain pada saat aku kelas XI dia mendekatiku, bukannya aku tidak suka dengannya, dia cantik, baik, cerdas, dan lugu, dia pernah satu sekolah denganku saat smp, dan dulu aku pernah senang melihatnya, tapi itu karena aku masih anak-anak, dan pada saat sekarang semua berbalik arah, dia menjadi menyukaiku dan aku sudah jatuh cinta dengan orang lain. Sialnya terlahir sebagai lelaki adalah diberi hak tuk memilih. Dan siapapun wanita yg dipilih, pasti ada yg terluka karenanya. Pun sebaliknya. aku ingin bilang kepadanya bahwa aku hanya ingin berteman dengannya tidak lebih dari sekedar itu, tapi aku tak bisa. Karena mengingat perilaku Gita padaku dulu, perilaku dia selalu berada dikepalaku yaitu selalu bersikap manislah kepada orang menyukaimu walaupun kamu tidak menyukainya, paling tidak berkenalanlah dengannya dulu jangan langsung menghindarinya, itu karena pacaran anak remaja zaman sekarang hanya mengambil kesimpulan singkat padat jelas, mereka hanya melihat dari luar dan berkata dalam hati “aku bakal tidak cocok dengan orang ini” dan mereka menjauhinya. Berbeda dengan Gita yang selalu membuka lebar pertemanan orang-orang disekitarnya dan kali ini aku harus menirunya, aku selalu baik terhadap gadis yang menyukaiku tetapi itu hanya sebagai teman tidak lebih, dia mengira aku ingin menjadi kekasihnya padahal tidak, bagiku suatu saat pasti ada orang yang istimewa datang padanya dan meminangnya dan itu bukan aku. Iliya berkata padaku bahwa aku masih punya kesempatan yang sangat besar untuk mendapatkan Yana, karena pada dasarnya Yana dan orang itu hanya berhubungan jarak jauh dan perbedaanya adalah aku dan Yana selalu berada di ruangan yang sama setiap harinya. Dan juga Iliya memberikan pendapatnya padaku bahwa Sebelum Janur Kuning Melengkung, dia masih pantas untuk direbutkan karena itu aku menjadi bersemangat lagi untuk mendapatkannya dan ada satu peluang yang besar yaitu

Lebih baik merebutkan gadis yang sudah memiliki kekasih karena kita hanya bersaing dengan satu orang, beda dengan gadis yang tidak memilikinya kita akan bertaruh satu diantara sepuluh ribu pria.

Keesokan harinya pada saat pagi, dia datang dengan biasa, duduk dengan biasa dan memberikan sebuah senyuman pagi yang sudah biasa aku lihat. Saat itu juga aku langsung membuat kesempatan aku terbuka lebar.

“Yana!”

“Ya?”

Aku menyerukan dia dengan semangat dan dia melihat secara heran kepadaku.
“Aku ingin menjadi penulis!”

“Yah bagus!”

“Aku akan membuat sebuah novel, dan pada saat novel itu akan terkenal dan menjadi sebuah layar lebar kamu akan menjadi tokoh perempuannya”

“Wahhhh, keren sekali! Aku suka itu! Aku tunggu itu!”

Aku bisa melihat betapa bahagianya wajahnya saat dia mendengar ucapanku dan aku menarik nafas dalam dalam untuk melanjutkan kata-kata selanjutnya.

“Dan apabila itu terwujud, maukah kau menikah denganku!”

“!?”

Bodohnya aku, aku berteriak sangat keras, beruntung tidak ada yang mendengarkanku mereka sibuk dengan urusan mereka masing-masing, selagi wajah Yana yang merah merona membuat dia sangat lucu dia seperti tersipu malu aku sedang jantungan menunggu jawaban darinya. Sekian detik aku menunggu kata-kata yang akan keluar dari mulutnya dan tidak kunjung keluar! Itu adalah detik-detik terlama dalam hidupku. Untunglah saat menit-menit berlalu dia berkata.

“Ayahku pernah berkata, carilah lelaki yang ingin menikahimu, bukan memacari mu, karena itu aku menerimanya, aku tunggu saat-saat itu.”

“YEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEESS!” aku berteriak sekuat-kuatnya dan teman-temanku heran karena aku berteriak dengan penuh semangat, guru dari kelas lain pun datang dan memarahi kami karena pada saat itu adalah jam pelajaran. Yana pun menyembunyikan tawa kecilnya karena melihat tingkahku.

Aku berhasil mendapatkanya! Sekarang peluangku lebih besar daripada orang itu dan aku merasa dewi cinta dan dewa perang membantuku dalam hal ini, aku masih punya lima bulan untuk mengenalnya lebih jauh lagi, karena itu setiap harinya, aku mulai sering berbicara lagi dengannya. Aku terlalu senang untuk hal ini bisa bisa aku mendapat serangan jantung karena terlalu gembira, karena mulai sekarang aku akan berusaha membuat novel untuk sebagai alat peminangnya dan film sebagai prasarananya. Hari demi hari aku mulai merasa aneh duduk disebelahnya aku merasa canggung untuk memulai percakapan, beda dengan kemarin seperti biasanya aku memulai obrolan ringan tetapi kali ini beda, aku tidak tahu kenapa tetapi ini terasa aneh. Tetapi terimakasih telah menjadi alasan ku untuk senyum-senyum sendirian.

“Emm Yana?”

“Ya?”

“Eh, Maa, makanan favoritmu apa?”

Kepada sunyi, seribu puisipun bisa kuberi. Namun kepada yang disukai, semua kata-kata seolah terkunci, yang tersisa hanya debar hati yang tak terkendali. Ah sialan.
Karena terlalu canggung aku malah menanyakan makanan kesukaannya, sudah aneh rasanya apabila kita menyukai wanita, berbeda dengan Yana dia hanya menanggapinya dengan biasa walaupun pada dasarnya wajah dia agak memerah
“Emm , Bakso?”

Aku langsung menolehkan kepala ke sisi lain dengan mengetok-ngetok keningku, untuk apa aku menanyakan hal itu, sungguh hal yang tidak patut dipertanyakan, sungguh aku menjadi begitu canggung apabila didekatnya, aku ingin selalu didekatnya tetapi bila didekatnya aku malah terasa canggung!

Aku selalu melamun, hanya dialah yang kulamunkan. misalnya dia mengacuhkanku, takkan aku gelisah. anggap saja kini aku menjelma angin, tak mungkin tak dia hirup meskipun dia tak ingin. karena dia sebagai udara, yang dihisap dalam liku nafas hidupku yang turun-naik. Kadang dia membalas tatapanku dan langsung mengalihkannya, aku merasa senang pada saat itu. Pikirku dia malu karena terlalu lama untuk menatapku.
Tak terasa sudah enam bulan Tatjana bersekolah di sini, aku merasa senang lebih bisa mengenalnya, namun di lain sisi aku merasa sedih bukan karena ujian akhir nasional tetapi karena dua bulan mendatang aku akan berpisah dengannya, aku tak sanggup menerimanya, untuk apa aku dipertemukan dengannya tetapi pada akhirnya dipisahkan oleh waktu? Pada saat siang jam ke enam pelajaran itu adalah bahasa Inggris tiba-tiba saja dia mengajakku bicara.

“Gak terasa ya udah enam bulan aku disini”

“Haha iya, aku mau nanya kamu kan tinggal di Bandung, kamu kenal gak sama cewek namanya Gita?”

Aku hanya sekedar bertanya untuk membuat percakapan ringan, pada dasarnya mungkin dia tidak mengenalnya karena Bandung adalah kota yang luas dan juga Gita tidak mungkin satu sekolah dengan Yana.

“ohh aku kenal, dia satu sekolah denganku, satu kelas juga, dia pernah berkata kalau dia pernah bersekolah di kota ini juga, kok kamu bisa kenal sama dia?”

“Ahh dia teman ku pas kelas tiga smp dulu”

Sangat mengejutkan Gita dan Tatjana adalah teman sekelas bagaimana mungkin itu sebuah kebetulan belaka, sungguh luar biasa.

“ohh, eh aku juga punya teman lho dulu disini” ujar Yana

“oh ya? Siapa?” akupun menjawab dengan penasaran yang sangat tidak terkendali

“Aduh aku udah lupa, soalnya sudah dua belas tahun aku gak ketemu sama mereka.”

Saat dia mengucapkan kejadian itu aku menjadi ingat suatu momen dimana aku selalu bermain dengan teman-teman masa kecilku dulu.

“tapi aku masih ingat salah satu dari mereka, dia ada disekolah ini, namanya Raisa dia ada di program studi Sains”

“Raisa?”

Raisa, adalah gadis dari program sains, dia cukup pintar dikelasnya wajahnya juga bisa dikategorikan untuk direbut para lelaki, hanya saja aku kurang mengenalnya ketika kami beranjak dewasa dan itu juga menjadi kurangnya ketertarikanku untuk mendekatinya.
“Ya dulu kami berempat, dua perempuan dan dua laki-laki, kami dulu sangat suka bermain di hutan belakang perumahan kami asik sekali.”

Aku sangat terkejut mendengar hal itu, kata-kata Yana sangat persis dengan kejadian aku pada dua belas tahun yang lalu, apakah dia gadis yang sama dengan masa kecilku, tetapi ada yang mengganjal disini, aku hanya ingat bahwa aku hanya mempunyai dua teman yaitu Iliya dan Asha, tidak ada Raisa, disitu aku mencoba mengingat kejadian samar-samar itu, tetapi apa yang terjadi aku malah mengingat jelas semuanya, aku memang mempunyai empat teman pada waktu itu, Iliya, Asha dan Raisa disini aku mulai yakin bahwa Yana adalah Asha dan aku mulai memancing nama lain Yana

“Asha?”

“heh?”

“kamu Asha !?”

“Kenapa kamu tahu nama panggilanku!?”

“!”

“Asa! Jangan-jangan kamu temanku pada waktu itu!?”

Aku sangat terkejut, bahwa Yana adalah Asha, gadis yang aku sukai ini adalah teman semasa kecilku dulu, dia sudah tumbuh menjadi gadis dengan kepribadian yang berbeda saat aku mengenalnya. Yang membuat aku heran yaitu ternyata wajahnya dia jauh berbeda dengan Asha yang dulu bahkan berbeda dengan Gita, ternyata wajah Gita dengan Asha yang dulu memang agak mirip tetapi sekarang wajah Asha ketimbah jauh lebih cantik dibanding Gita, saat itu aku dan dia terdiam agak lama dan mencoba mengingat semua kejadian yagn terjadi pada kami dua belas tahun yang lalu. Lalu kami pun tertawa terbahak-bahak bahwa kami dipertemukan dengan sebuah kejadian yang luar biasa diantara sepuluh ribu wanita aku dipertemukan lagi dengan gadis ini seperti takdir sudah terukir di bintang. Ternyata bukan hanya aku. Bintang pun sekiranya kesepian karena tidak ada orang yang mengharapkannya malam ini. Dan kita pun masih di lahirkan di langit yang sama. Aneh sekali.

Akupun menceritakan tentang Iilya dan Raisa, kami harus membuat reunian untuk terakhir kalinya sebelum kami lulus dari sekolah ini, kami setuju dan melakukan sebuah reuni kecil-kecilan di restoran dipusat kota. Hari itu adalah hari terbaikku, melihat mereka bertemu, tertawa, menceritakan petualangan mereka, hari itu, hatiku hangat, aku mengeluarkan senyum yang tidak bisa kusembunyikan, aku menangis seketika dan langsung mengusapnya, tidak ada yang boleh tahu aku menangis, dan Asha tidak boleh mengusap air mataku, aku akan terlihat lemah di depannya. Hari itu, aku akan ingat hari itu.

Hari yang ditunggu-tunggu datang, hari dimana kami menempuh dua belas tahun sekolah hanya untuk tiga hari yaitu ujian akhir. Semua persiapan sudah disiapkan semua murid diseluruh penjuru Indonesia, bukan altileri atau skuadron tetapi ilmu, mental, dan fisik oh ya tentu saja dengan peralatan sekolah, kami sudah siap untuk menghadapi hari ini, hari pertama, kedua dan ketiga sudah kami lewati dengan mudah, tidak ada hambatan yang sulit, lalu saat bel terakhir berbunyi itu menunjukkan bahwa kami telah selesai menempuh ujian akhir. Semua murid bersyukur atas pentingnya hari ini dimana hari ini kelak akan menentukan dimana mereka selanjutnya, begitu juga dengan Yana dia menghadapi ujian ini dengan mudah karena dia sudah berada di tingkat yang lain dengan kami, nilai rata-ratanya sudah bisa dibilang mendekati sempurna walaupun sebenarnya nilai rata-rataku juga bagus, lalu aku juga melihat hasil penerimaan jalur mahasiswa dan aku diterima di Bandung salah satu universitas yang populer di Indonesia untuk Literaturnya, aku sudah bersikeras untuk membuat novel suatu saat dan karena itu aku pergi ke bandung untuk melanjutkannya sekaligus bisa dekat dengan Yana.

Semua wanita terlihat cantik dan rapi mereka memakai baju kebaya untuk hari perpisahan dan laki-laki memakai jas, semua terlihat tampan bahkan Yana terlihat sangat manis dia memakai baju kebaya putih, rambutnya dia telah memanjang untuk delapan bulan terakhir dia membuat gumpalan di rambutnya yang juga disebut sanggul untuk tradisi Jawa. Menggunakan lipstik, perona pipi, hak tinggi, aku kagum dengan kecantikannya, semua murid didampingi orang tuanya dan begitu juga dia, ternyata Ayahnya masih mengingatku dan terkejut bahwa aku dan dia sekelas, ibunya juga menggunakan ekspresi yang sama dengan Ayahnya, selesai kami menjalani hari perpisahan ada suatu festival sekolah dimana khusus diperuntukkan untuk kelas dua belas yaitu Pentas Seni, berbeda dengan perpisahan semua siswa-siswi memakai baju Batik dan diadakan pada malam hari, hari ini adalah sebuah momentum untuk semua angkatan, dimana pada akhir acara akan ada sebuah video dimana perjalanan hidup saat kami masih kelas sepuluh, sebelas dan dua belas, banyak yang terharu melihatnya betapa cepatnya waktu berlalu, kami adalah pelintas waktu dan tidak sadar bahwa kami akan segera pergi, menyusuri ke tempat yang jauh, melanglang buana, melanjutkan ke perguruan tinggi. Setelah kegiatan itu kami tidak ada aktivitas lagi, kami libur selama empat bulan, selama empat bulan ini kami mencari perguruan tinggi dan mengurus data-data administrasi kami untuk kelulusan dan pendaftaran kuliah.

Satu bulan kemudian, semua siswa-siswi disuruh kembali ke sekolah guna untuk melihat hasil apakah kami lulus atau tidak, semua duduk di gedung auditorium dan kami diberi sebuah amplop dimana didalam surat tersebut berisi apakah kami lulus atau tidak, percuma apabila aku telah diterima di universitas tetapi tidak lulus di Sekolah dan pada akhirnya semuanya sia-sia, lalu aku membuka amplop dan aku melihat sebuah coretan di kertas itu dan coretan itu berada di kata ‘Tidak Lulus’ dan itu artinya aku lulus, begitu juga dengan semua siswa-siswi yang ada di auditorium semuanya lulus dengan hasil yang memuaskan, lalu semua berdiri dan tepuk tangan atas jasa yang sudah diberikan sekolah pada kami. Semua keluar dengan teratur, dan aku mencari dimana Yana, aku menemukannya dan melihat bahwa dia masih duduk di kursi itu dan tidak lekas pergi keluar, aku meraih tangannya dan senyum kepadanya, aku melihat dia meneteskan air mata yang sangat jernih dari kelopak matanya yang sangat indah, lalu aku menggandeng tanganya dan keluar menuju ke pintu keluar.

Sebuah mobil pribadi yang didesain untuk bepergian jarak dekat telah diparkir didekat halaman sekolah, Semua orang mengkerutkan alis mereka masing masing dan bertanya-tanya dalam hati siapakah gerangan yang datang dengan kendaraan nan mewah tersebut, hanya orang-orang tertentu yang bisa memilikinya, semua hanya berspekulasi, tak ada yang bisa menebak, angin disekitar mobil itu bertiup angin kencang bagaikan angin topan. Asha sudah tahu hal ini akan terjadi, karena ini adalah hari terakhir dia disekolah. Dia dijemput dengan kendaraan super elit. Dia tersenyum manis padaku sama seperti aku melihatnya di perpisahan terakhir kami, bedanya kini dia sudah tumbuh menjadi gadis remaja yang cantik, gemulai, manja, lucu, cerdas, dan periang. Dia menggenggam tanganku menuju ke mobil.

“Asa.” Asha berbicara dengan lembut.

“ya?”

“kamu tahu ini hari terakhir aku berada di kota ini, untuk kesekian kalinya”

“aku mengalami De Javu

“hahaah tipikal mu Asa !”

“aku akan pergi ke Cambridge, aku kira ini akan menjadi pertemuan kita yang terakhir.”

“Cambridge!? Bukannya kamu akan ke Bandung?”

“tidak, aku telah diterima di Universitas Cambridge aku akan melanjutkan studi literatur Inggris disana.”

“tapi bagaimana dengan janji kita?”

“kita akan mewujudkannya dan itu pasti.”

Aku menyadari jarak antara aku dan Asha semakin menjauh dan menjauh kami, saat aku diterima di Bandung untuk melanjutkan studi literatur, dia malah melanjutkan ke luar negeri, dia selalu satu langkah didepanku, aku teringat kata-kata Gita apabila kita ingin mendapatkan seseorang kejarlah dia hingga dia luluh. Asha mulai menapakkan kakinya di pintu mobil, walaupun genggaman tanganya masih berada di tanganku dia tetap melangkah, lalu supir tersebut bertanya apakah Asha sudah siap, dan aku melepaskan tanganya yang lembut secara perlahan. Tak ada tutur kata, hanya sebuah tatapan, tatapan yang sangat mengartikan kekasih yang akan pergi jauh dan tidak pasti kapan dia kembali. Dia mulai tersenyum dan meneteskan air mata, mobil pun mulai bergerak dan wajahnya yang cantik nan menawan masih terlihat di dari kejauhan, mengeluarkan kepalanya dari jendela. aku masih bisa melihat dia mengusapkan kedua air matanya dengan baju seragamnya. Lekas aku segera berteriak untuk memberikan ucapan selamat kepadanya.

“Hei Asha!”

Yaaaaaa?

Saat reunian berikutnya, apabila kita berdua masih lajang, aku aku akan menikahimu !

“Itu janji Asa !”

“Ya... Janji Suci.”

Aku berpisah lagi denganya, kali ini aku tidak menangis karena umurku sudah tujuh belas tahun, Lambat laun mobil itu menghilang dari pemandangan mata dan aku masih menemukan diriku menatap ke arah mobil itu pergi dengan tatapan yang kosong. Disini aku mengambil keputusan untuk membuat novel yang akan dipublikasikan secara masal dan bisa masuk kedalam proyek film layar lebar, dimana novel itu harus menarik, menggunakan sudut pandang yang bergantian, tidak hanya sekedar cerita romantis saja, dan masih banyak lagi yang harus kupikirkan, tetapi ada satu kisah yang akan aku tuangkan delam tinta dan kertas-kertas putih yaitu adalah kau, pelita yang pudarkan gulita. Bagaimana bisa, menahan rindu yang terus terasakan, layaknya jemuran yang terus menerus tersiram air hujan, dan akhirnya ia meneteskan.

Asa Untuk Asha

Fin.






































































































































































Posting Komentar

0 Komentar